New Post

Rss

Jumat, 29 Januari 2016
no image

Dualisme Pengendalian Alih Fungsi Tanah dan Perkembangan Wilayah


“Alih Fungsi Lahan Makin Mengkhawatirkan, Tiap Tahun Lahan Pertanian Susut 250 Ha”, (KR, 11 April 2006) merupakan berita yang cukup memberikan gambaran tentang kondisi penataan ruang dan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak mengejutkan memang, tetapi besaran alih fungsi lahan yang mencapai angka 2,3% per tahun untuk Kabupaten Sleman dan 7% per tahun untuk Kota Yogyakarta merupakan angka yang cukup besar dan perlu disikapi secara kritis. Hal ini perlu dilakukan mengingat  perkembangan wilayah yang un control akan memacu terjadinya alih fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian yang bertolak belakang dengan upaya mempertahankan swa sembada pangan dan sustainable development.

Dalam konteks ini pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah apakah pemerintah bersama masyarakat mampu mengkontrol pesatnya perkembangan wilayah ? Mengingat perkembangan wilayah seakan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dalam rangka peningkatan peradaban dan proses ‘urbanisasi’ (baca: proses kekotaan).  Pertanyaan tersebut muncul, bukan cerminan pesimisme tentang fenomena pesatnya perkembangan wilayah dan hilangnya tanah-tanah pertanian produktif, tetapi merupakan cerminan dari hebatnya kalangan swasta dan pemilik modal dalam memanfaatkan faktor produksi yang berupa tanah untuk ‘meningkatkan peradaban’.

Permasalahan di atas seakan menjadi sebuah dualisme ketika pengendalian alih fungsi tanah mutlak diperlukan dan  di sisi lain perkembangan wilayah adalah sebuah keharusan. Pertanyaan lanjutan yang kemudian mengedepan adalah mampukah upaya pengendalian alih fungsi tanah dapat mengakomodasi pesatnya perkembangan wilayah?

          Secara umum perkembangan wilayah terbagi menjadi perkembangan wilayah perkotaan dan perkembangan wilayah pedesaan. Meskipun di antara keduanya terdapat satu wilayah yang sering dikaji secara terpisah yakni wilayah urban fringe. Wilayah ini adalah daerah pinggiran kota yang merupakan peralihan kota – desa. Secara definitif wilayah ini sangat sulit dilacak batas-batasnya, mengingat kenampakan fisik dan non fisik daerah ini tidak berhimpit satu sama lain. Apalagi pada wilayah yang sarana transportasi dan komunikasi sudah tersedia dengan baik, ciri-ciri non fisik akan jauh meninggalkan ciri fisik yang dicerminkan oleh pergeseran kenampakan keruangannya. Contoh wilayah urban fringe ini adalah sebagian wilayah Kecamatan Gamping, Godean, Mlati, Depok, Berbah di Kabupaten Sleman, sebagian Kecamatan Banguntapan dan Kasihan di Kabupaten Bantul.  Perkembangan wilayah di daerah ini perlu mendapatkan perhatian khusus, agar perkembangan di kemudian hari tidak menjadi unmanaged growth

          Perkembangan wilayah di daerah perkotaan menempati posisi yang dominan dalam kajian keruangan, mengingat wilayah ini cenderung lebih dinamis dan mempunyai kompleksitas yang sangat tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Perkembangan kota dalam konteks keruangan (fisik), secara umum dibedakan menjadi tiga model pertumbuhan yang meliputi: (1) Ribbon development, yakni pertumbuhan fisik kota yang mengikuti jalur-jalur transportasi; (2) Concentric development, yakni pertumbuhan fisik kota yang menyebar secara merata pada semua sisi kota; (3) Leap-frog development, yakni pertumbuhan kota yang meyebar secara sporadis di semua daerah pinggiran kota. Model ini sering juga disebut sebagai pembangunan ‘lompat katak’.

Berdasarkan teori-teori di atas tampak bahwa perkembangan wilayah perkotaan  seakan secara sistematis mendesak keberadaan wilayah pedesaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai pemahaman bahwa perkembangan kenampakan fisik kota merupakan simbol bagi sebuah kemajuan. Hal inilah yang kemudian semakin mempertinggi intensitas alih fungsi tanah, di samping ekspansi wilayah kota terhadap wilayah desa.

          Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk dan segala aktivitasnya untuk menopang hidup dan kehidupannya yang secara langsung maupun tidak langsung mempertinggi  permintaan tanah. Faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap struktur penggunaan tanah adalah kebutuhan permukiman bagi penduduk. Namun demikian realitas menunjukkan bahwa di banyak wilayah perkembangan permukiman menjadi tidak terkendali (unmanaged growth). Realitas ini adalah sebuah konsekuensi logis bagi daerah-daerah yang perkembangan wilayahnya relatif cepat.  

          Beberapa upaya regulasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian alih fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian antara lain diterbitkannya (berdasarkan tahun terbit): (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan; (3) Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri; (4) Peraturan Kepala BPN Nomor 18 Tahun 1989 Kawasan Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Perusahaan Kawasan Industri; (5) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri; (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; (7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; (9) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; (10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi dan sebagainya yang kesemuanya baik tersurat maupun tersirat dimaksudkan untuk mengendalikan perubahan peruntukan penggunaan tanah-tanah pertanian untuk penggunaan lain.

     Dalam konteks otonomi daerah, patut dicatat terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah di Kabupaten Sleman. Peraturan Daerah ini muncul setelah dirasakan perlunya pengarahan dan pengendalian terhadap penggunaan tanah agar peruntukannya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, mengingat semakin terbukanya peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan. Inilah barangkali satu contoh upaya pengendalian perubahan penggunaan tanah yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagaimana dengan pemerintah kabupaten/kota yang lain?

Dalam konteks Perkotaan Yogyakarta (Greater Yogyakarta), perlu adanya kerjasama antar kabupaten dan kota untuk merumuskan berbagai regulasi yang berhubungan dengan pengendalian alih fungsi tanah. Sekretariat Bersama Kartamantul, perlu dioptimalkan dan diberikan peran yang lebih besar untuk menciptakan sustainable city  bagi wilayah Perkotaan Yogyakarta. Workshop Kerjasama Penataan Ruang Perkotaan Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 23 Pebruari 2006 lalu, perlu segera ditindaklanjuti dengan berbagai agenda aksi yang relevan dengan upaya pengendalian alih fungsi tanah. 

Berbagai upaya pengendalian alih fungsi tanah di atas, bukan dimaksudkan untuk menghentikan perkembangan wilayah, tetapi mengarahkan dan mencari alternatif tertentu untuk melindungi tanah pertanian produktif, menjadikan kondisi perkembangan wilayah yang tidak teratur menjadi teratur, mempertahankan kualitas lingkungan dan menjaga keberlanjutan pembangunan. Dengan demikian yang diperlukan bukanlah pengaturan penanggulangan alih fungsi tanah, tetapi pengendaliannya agar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat pada umumnya. 

Penulis : Sutaryono



Selasa, 12 Agustus 2014
no image

Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT)


Terdapat perbedaan ruang lingkup pengertian dari Hukum Agraria antara yang terdapat dalam UUPA dengan yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum Indonesia. Lingkup pengertian Hukum Agraria dalam UUPA jauh lebih luas daripada lingkup pengertian Hukum Agraria yang dipelajari pada pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
Menurut Boedi Harsono, pengertian Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber daya  alam tertentu yang termasuk pengertian ‘agraria’ sebagai yang diuraikan dalam UUPA. Kelompok bidang hukum tersebut meliputi:[1]
a.       Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
b.       Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan  atas air;
c.       Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan;
d.      Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
e.       Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa (bukan “Space Law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA.
Yang perlu ditegaskan bahwa semua bagian dari kelompok hukum agraria itu adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas berbagai sumberdaya agraria, bukan yang mengatur tentang pengelolaan, termasuk penatagunaan atas sumberdaya agraria. Bagi penulis, kelompok hukum yang mengatur pengelolaan berbagai sumberdaya agraria itu tunduk pada pengaturan Hukum Lingkungan.
Meskipun sejak kelahirannya (tanggal 1 Oktober 1962) mata kuliah yang disajikan diberi nama ‘Hukum Agraria’, tetapi materi yang dipelajari dan diajarkan adalah ‘Hukum Tanah’. Hukum Agraria/Tanah bukanlah keseluruhan  (sistem) kaidah hukum mengenai agraria/tanah. Tidak semua hukum yang mengatur tentang agraria/tanah merupakan rezim pengaturan Hukum Agraria/Tanah. Tegasnya, Hukum Agraria/Tanah hanya mengatur segi tertentu dari agrararia/tanah itu sendiri, yakni menyangkut Hak Penguasaan atas Sumberdaya Agraria (HPAA) atau Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Segi-segi lain, seperti bagaimana menggunakan tanah atau bagaimana mewariskan tanah tidak tunduk pada Hukum Agraria/Tanah, melainkan tunduk pada hukum lain, dalam hal ini: (a) cara penggunaan tanah tunduk pada Hukum Tata Guna Tanah sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan/atau Hukum Tata Lingkungan,  serta (b) cara mewariskan tanah tunduk pada Hukum Waris.
Politik hukumnya, hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-citakan hukum yang tertulis, agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin diberi bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas:
a.       hukum tertulis, yang meliputi:
1)   Pasal 33  UUD 1945;
2)   UUPA;
3)   Peraturan-peraturan pelaksanaan;
4)   Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan peraturan peralihan dari UUD 1945.
b.      hukum yang tidak tertulis, yang meliputi:
1)   Hukum Adat yang sudah disaneer;
2)   Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu  mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah. Secara yuridis, “berbuat sesuatu” yang dimaksud tersebut dapat berisi  kewenangan privat, publik atau bahkan dapat sekaligus kewenangan publik dan privat. Tegasnya, pengertian penguasaan yang dimaksud dalam HPAT berisi kewenangan yang luas, tidak sekedar berisi kewenangan hak untuk menggunakan dan atau menjadikan tanah sebagai jaminan yang merupakan kewenangan perdata. Dalam pada itu, HPAT lebih luas daripada Hak Atas Tanah (HAT).
Untuk lebih mengefektifkan studi Hukum Agraria/Tanah, Boedi Harsono yang pertama kali menyatakan bahwa ketika mempelajari Hukum Agraria/Tanah perlu dilakukan dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit. Dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit, ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. Selain itu, dengan sistematika sebagai lembaga hukum dan hubungan konkrit tersebut ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun, dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan. Bagi penulis, pendekatan sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit tersebut dalam studi Hukum Agraria/Tanah itulah yang membuat Bapak Prof. Boedi Harsono layak disebut sebagai ‘Bapak Hukum Agraria Indonesia’. Dengan pendekatan seperti itu, orang-orang dimudahkan untuk melakukan studi Hukum Agraria/Tanah.
a. Sebagai lembaga hukum. HPAT merupakan lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya (Pasal 20-45 UUPA)  Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum:
1)      mengatur nama/penyebutan pada hak penguasaan tersebut;
2)      menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
3)      mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
4)      mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
 b. Sebagai hubungan hukum konkrit. HPAT merupakan hubungan hukum konkrit (biasanya disebut ‘hak’), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Contohnya adalah hak-hak atas tanah yang disebut dalam Ketentuan Konversi UUPA. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkrit mengatur mengenai hal-hal:
1)         penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan di atas;
2)         pembebanannya dengan hak-hak lain;
3)         pemindahannya kepada pihak lain;
4)         hapusnya;
5)         pembuktiannya.


no image

Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah

Pengertian agraria dapat dilihat dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit agraria dapat diartikan tanah dan dapat pula diartikan hanya tanah pertanian. Selanjutnya, pengertian agraria dalam arti luas dapat dilihat pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria, disingkat UUPA). Menurut UUPA, agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. UUPA menentukan bahwa dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi, di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 butir 4). Pengertian air termasuk perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 butir 5). Yang dimaksud dengan ruang angkasa meliputi ruang di atas bumi dan air (Pasal 1 butir 6).
Dalam praktek penyelenggaraan pembentukan hukum tampak rumusan UUPA tersebut telah berkembang sedemikian rupa dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria. Ada yang konsisten dan ada pula yang tidak konsisten dengan rumusan UUPA.
Pengertian tanah membawa implikasi yang luas di bidang pertanahan.  Menurut Herman Soesangobeng, secara filosofis hukum adat melihat tanah sebagai benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jatidiri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam besar (macro-cosmos) dan alam kecil (micro-cosmos). Dalam pada itu, tanah dipahami secara luas, sehingga meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supernatural yang terjalin secara utuh-menyeluruh.
Pandangan filosofis yang bersifat utuh-menyeluruh (holistic) ini ketika akan dijabarkan ke dalam asas dan pranata hukum, tampaknya mengalami dinamika dan modifikasi. Sebagai contoh, di dalam penguasaan dan pemilikan tanah pada akhirnya dikenal asas pemisahan horisontal (horizontale scheiding), yakni asas yang menyatakan bahwa pemilik tanah tidak otomatis sebagai pemilik benda-benda di atas tanah. Di negara-negara anglosakson yang mengartikan tanah (land) sebagai permukaan bumi, tubuh bumi, dan kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, maka asas penguasaan pemilikan tanahnya pun mengenal asas perlekatan (accessie) yakni asas yang menyatakan bahwa pemilikan benda-benda di atas tanah pada prinsipnya juga melekat pada pemilikan tanah.  Contoh lainnya, Pasal 4 ayat (1) UUPA juga mengartikan tanah yang hanya sebagai permukaan bumi (the surface of the earth). Konsekuensinya, hak atas tanah pun secara hukum adalah hak atas permukaan bumi, tidak sekaligus merupakan hak  atas benda-benda di atas tanah dan kekayaan alam di tubuh bumi.


Selasa, 15 Juli 2014
Pengertian Gambar Ukur

Pengertian Gambar Ukur


Untuk menjamin kepastian hukum terhadap data fisik pendaftaran tanah, perlu dilakukan pengukuran bidang tanah dan dibuat dokumennya. Dokumen tempat mencantumkan data pengukuran rincikan bidang-bidang tanah dan situasi sekitarnya serta pengikatan terhadap obyek-obyek tetap dan titik-titik kontrol adalah Gambar Ukur (GU), atau yang lazim disebut Daftar Isian 107. Mengingat bahwa dokumen ini merupakan data otentik hasil pengukuran dan mempunyai kekuatan bukti data fisik pendaftaran tanah, maka perlu dibuat dan dipelihara dengan sebaik-baiknya mengikuti peraturan yang ada.
            Secara teknis, saat ini diberlakukan 2 peraturan dalam pembuatan GU, yaitu : (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (PMNA/KBPN 3/97) tentang Pengukuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah, beserta Petunjuk Teknisnya; dan (2) Standar Gambar Ukur dan Surat Ukur yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN pada tahun 2001. Dalam beberapa hal yang sifatnya sangat teknis, ternyata kedua peraturan ini terdapat perbedaan.
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (PMNA/KBPN 3/97), Gambar Ukur adalah dokumen tempat mencantumkan gambar suatu bidang tanah atau lebih dan situasi sekitarnya serta data hasil pengukuran bidang tanah baik berupa jarak, sudut, asimut ataupun sudut jurusan. Selain dari data tersebut, dicantumkan juga keterangan-keterangan lain yang mendukung / memudahkan dalam penatasahaan Gambar Ukur.

Dalam pengukuran kadastral, yaitu pengukuran untuk mendapatkan kepastian letak batas bidang tanah, terdapat 2 mekanisme pengukuran yaitu :
(1)   Pengukuran bidang tanah secara sistematik adalah proses pemastian letak batas bidang-bidang tanah yang terletak dalam satu atau beberapa desa/kelurahan atau bagian dari desa/kelurahan atau lebih dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik.
(2)   Pengukuran bidang tanah secara sporadik adalah proses pemastian letak batas satu atau beberapa bidang tanah berdasarkan permohonan pemegang haknya atau calon pemegang hak baru yang letaknya saling berbatasan atau terpencar-pencar dalam satu desa/kelurahan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sporadik.

Memperhatikan terdapat 2 mekanisme pengukuran dalam rangka pendaftaran tanah, maka terdapat 2 format Gambar Ukur yaitu :
1)      Gambar Ukur pendaftaran tanah sistematik, atau disebut d.i. 107
2)      Gambar Ukur pendaftaran tanah sporadik, atau disebut d.i. 107A

Untuk kedua format standar ini, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Gambar ukur menggunakan format kertas standar A4 dengan ketebalan seperti kertas kartun manila.
2.      Untuk d.i. 107 terdiri dari 2 halaman, yang digunakan bolak-balik. Halaman 1 menerangkan Nomor Gambar Ukur, Lokasi Bidang Tanah, Keterangan Pengukuran, keterangan pembatalan jika ada, dan Sketsa Lokasi. Halaman 2 untuk penggambaran bidang tanah dan situasi sekitarnya, serta simbol-simbol yang digunakan.
3.      Untuk d.i. 107A terdiri dari 4 halaman. Halaman 1 menerangkan Nomor Gambar Ukur, Lokasi Bidang Tanah, Keterangan Pemohon, Keterangan Pengukur, Persetujuan Batas Bidang Tanah, dan Sketsa Lokasi. Halaman 2 untuk penggambaran bidang tanah dan situasi sekitarnya, serta simbol-simbol yang digunakan. Halaman 3 untuk penggambaran halus. Halaman 4 untuk halaman persetujuan si pemilik/penguasa tanah dan sebelah-menyebelahnya terhadap pengukuran bidang tanah, dan apabila perlu halaman ini dapat juga digunakan sebagai pengesahan pekerjaan oleh para Pejabat.
4.      Penggunaan foto udara atau peta foto yang merupakan bagian dari Gambar Ukur, terdiri dari d.i. 107 (d.i. 107A) dan copy peta foto / blow up foto udara pada ukuran A4 sebagai lampiran. Lampiran ini ditandatangani oleh petugas ukur.
5.      Penggunaan peralatan-peralatan yang data ukurannya dalam bentuk digital (seperti Total Station dan GPS), terdiri dari d.i. 107 (d.i. 107A) dan print out data ukuran, hasil hitungan, hasil plotting bidang tanah pada ukuran A4 sebagai lampiran. Lampiran ini ditandatangani oleh petugas ukur.

Dalam PMNA/KBPN 3/97, formulir GU dibedakan untuk pengukuran sistematik atau sporadik. Untuk pengukuran sistematik, GU terdiri dari 2 (dua) halaman. Halaman pertama berisi keterangan penatausahaan GU, dan halaman kedua digunakan untuk membuat sketsa bidang-bidang tanah beserta besaran-besaran pengukuran. Untuk pengukuran sporadik, GU terdiri dari 4 (empat) halaman yang digunakan bolak-balik. Halaman pertama berisi keterangan penatausahaan GU, halaman kedua dan ketiga digunakan untuk membuat sketsa bidang-bidang tanah beserta besaran-besaran pengukuran, dan halaman keempat merupakan halaman kosong.
Sedangkan pada Standar GU, seperti halnya PMNA/KBPN 3/97, formulir GU dibedakan untuk pengukuran sistematik atau sporadik. Untuk pengukuran sistematik, GU terdiri dari 2 (dua) halaman. Halaman pertama berisi keterangan penatausahaan GU, dan halaman kedua digunakan untuk membuat sketsa bidang-bidang tanah beserta besaran-besaran pengukuran. Untuk pengukuran sporadik, GU terdiri dari 4 (empat) halaman yang digunakan bolak-balik. Halaman pertama berisi keterangan penatausahaan GU, halaman kedua digunakan untuk membuat sketsa bidang-bidang tanah beserta besaran-besaran pengukuran, halaman ketiga untuk penggambaran halus (kartiran), dan halaman keempat merupakan halaman kosong.

            Pada item formulir isian halaman pertama (penatausahaan GU) dari dua peraturan yang masih berlaku, yaitu PMNA/KBPN 3/97 dan Standar GU, terdapat perbedaan yang prinsip. Bahwa pada Standar GU terdapat lajur Nomor Urut GU, sedangkan pada PMNA 3/97 tidak terdapat.  Untuk pengukuran sistematik (DI 107)menurut Standar GU, nomor urut GU diisi sebanyak 15 digit, yang terdiri dari 2 digit untuk kode petugas pengukuran sistematik,  5 digit untuk nomor urut GU di Tim Pengukuran, 8 digit untuk tanggal pengukuran. Sedangkan untuk pengukuran sporadik (DI 107A), nomor urut GU diisi sebanyak 15 digit, yang terdiri dari 2 digit diisi 00,  5 digit untuk nomor urut GU diisi dengan nomor DI 302 (permohonan pengukuran), 8 digit untuk tanggal pengukuran. 
PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI |  PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI | PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI

Diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Th 1997 tentang  Pendaftaran Tanah (8 Juli 1997 – berlaku 8 Oktober 1997)

Ada 2 hal yang sangat mendasar di dalam PP 24 / 1997.
1.    Pendaftaran tanah pertama kali
2.    Perubahan data pendaftaran tanah

Apa latar belakang / alasan terbitnya PP 24 / 1997 ?
Dapat dibaca di dalam konsiderannya.
a.     Peningkatan pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan.
b.     Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh Undang-undang No. 5 th 1960 tentang pokok-pokok agraria di tugaskan kepada pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum.
c.      PP 10 Th 1961 tentang Pendaftaran dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil pembangunan nasional, sehingga perlu disempurnakan.

Peraturan – peraturan yang ada kaitan erat dengan PP 24 / 1997.
1.     Undang-undang Dasar 1945
2.     UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria
3.     UU No.  16/1985 tentang Rumah Susun
4.     Undang-undang No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
5.     PP 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
6.     Peraturan Pemerintah No. 4/1998 tentang Rumah Susun


Apa yang dimaksud pendataran tanah ?
·           Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan  pengkajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar  mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian  surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak  milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
·           Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran  tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan  kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendataran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
·           Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya.
·           Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak  lain serta  beban beban lain yang membebaninya.
·           Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan  pendaftaran tanah yang  belum didaftar  berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 10 th 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini./PP 24/1997.
·           Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan
·           Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa  obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau missal.

Azas dan Tujuan
Azas :
·         Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan  azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.

Tujuan
·         Kepastian hukum, perlindungan hukum kepada pemegang hak.
·         M,enyediakan informasi
·         Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.


Siapa Penyelenggara Pendaftaran Tanah di Indonesia
Jawab : Badan Pertanahan Nasional ( sekarang BPNRI )

Siapa yang melaksanakan  pendaftaran tanah
Jawab Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota

Susunan Panitia Ajudikasi
1.  Pendaftaran secara sistematik, kepala kantor Pertanahan dibantu oleh panitia ajudikasi yang dibentuk  Menteri (Ka BPN)
Susunan Panitia Ajudikasi
a.  Ketua merangkap anggota
b.  Anggota-anggota :
1.     Pegawai BPN mempunyai kemampuan  pengetahuan dibidang pendaftaran tanah
2.     Pegawai BPN yang mempunyai kemampuan  pengetahuan di bidang  hak-hak atas tanah.
3.     Kepala Desa/Kelurahan atau pamong desa/kel. Yang ditunjuk
4.     Dapat ditambah Satgas pengukuran dan pemetaan Satgas Puldadis, Satgas Administrasi.
5.     Dapat ditambah dari warga setempat yang paham  data yuridis.

Obyek Pendaftaran Tanah
a.    Bidang – bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik hak guna bangunan, hak guna usaha, hak guna bangunan dan  hak pakai.
b.    Tanah hak pengelolaan
c.    Tanah wakaf
d.    Hak milik atas satuan rumah susun
e.    Hak tanggungan
f.     Tanah Negara


PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH
Kegiatan Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Meliputi :
a.    Pengumpulan dan pengolahan data fisik
b.    Pembuktian hak dan pembukuannya
c.    Penerbitan sertifikat
d.    Penyajian data fisik dan data yuriduis
e.    Penyimpanan  daftar umum dan dokumen

Pengumpulan dan Pengelolaan Data Fisik
Pengukuran dan pemetaan meliputi :
a.    Pembuatan peta dasar pendaftaran
b.    Penetapan batas dibidang-bidang tanah
c.    Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah atau dan pembuatan  daftar tanah
d.    Pembuatan daftar tanah
e.    Pembuatan surat ukur


Pembuktian Hak dan Pembukuannya
1.     Pembuktian Hak Baru
a.  Hak atas tanah baru dibuktikan dengan :
1)    Penetapan pemberian hak  oleh pejabat yang berwenang (Surat Keputusan) tanahnya dari tanah Negara atau tanah HPL..
2)    Akte PPAT kalau tanahnya berasal dari pemberian hak diatas hak milik, penerima hak memperoleh HGB dan HP.

b.  Hak Pengelolaan dengan Penetapan Pemberian Hak Pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang.
c.   Wakaf dengan akte  ikrar waqaf
d.  Hak Milik satuan rumah susun dengan akte pemisahan.
e.  Pemberian HT dibuktikan dengan akte HT

2.     Pembuktian Hak Lama
a)     Alat bukti tertulis, keterangan saksi, keterangan yang bersangkutan.
b)     Tidak tersedia secara lengkap alat-alat bukti dengan penguasaan phisik ybs selama 20 tahun atau lebih  berturut-turut  dengan iktikad baik.













Penelitian Kebenaran alat Bukti
Siapa yang melaksanakan ?
Pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah pertama kali adalah :
1.    Panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik
2.    Kepala kantor pertanahan  dalam pendaftaran tanah secara sporadik
Hasil penelitian alat-alat bukti dituangkan dalam daftar isisn 201 (PERMENEG/KA.BPN 3/1997)

PENGUMUMAN
Apa yang diumumkan ?
Berapa lama diumumkan ?
Yang diumumkan adalah daftar isian  dan peta bidang tanah yang telah diteliti kebenarannya (data phisik dan data yuridis).

Lama Pengumuman :
a.    Untuk pendataran  tanah pertama kali secara sistematik selama 30 hari
b.    Untuk pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik selama 60 hari.
Dikenal dengan azas keterbukaan (openbaarhcid)

Dimana daftar isian dan peta bidang diumumkan.
a.    Untuk pendaftaran tanah pertama kali secara sistematik dikantor Panitia Ajudikasi dan kantor Kepala Desa/Keurahan letak tanah yang bersangkutan.
b.    Untuk pendaftaran tanah secara sporadik di kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah yang bersangkutan.

Dengan adanya azas keterbukaan melalui pengumuman  baik pendaftaran sistematik maupun sporadik kemungkinan timbul 2 hal :
1.    Adanya sanggahan atau keberatan dari pihak yang merasa dirugikan.
2.    Tidak ada sanggahan
Ad.1. a. Sanggahan ditujukan kepada panitia ajudikasi untuk pendaftaran tanah sistematik, kemudian ketua ajudikasi mengusahakan  penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat.
      b.Sanggahan ditujukan  kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran  tanah secara sporadik, kemudian Kepala Kantor  Pertanahan mengusahakan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat.
     Hasil musyawarah :
1.    Sepakat
2.    Tidak sepakat è Pengadilan

Tindak lanjut setelah selesai jangka waktu pengumuman
·         Baik pendaftaran tanah pertama kali dalam pendaftaran tanah sistimatik maupun pendaftaran sporadik disahkan dalam bentuk berita acara dan ditanda tangani oleh Ketua Ajudikasi untuk pendaftaran tanah sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah sporadik.

Berita acara pengesahan tersebut sebagai dasar untuk :
1.    Pembukuan hak atas tanah (bidang tanah) dalam Buku Tanah
2.    Pengakuan hak atas tanah
3.    Pemberian hak atas tanah

Apa saja yang dibukukan ?
1.    Hak atas tanah
2.    Hak pengelolaan
3.    Tanah wakaf
4.    Hak milik atas satuan rumah susun
Yang memuat data yuridis  dan data phisik bidang tanah ybs.
Jelaskan isi buku tanah !


SENGKETA / KEBERATAN
Dalam PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI

1.     Apabila data fisik dan data yuridis sudah lengkap dan tidak ada yang disengketakan dilakukan pembukuan di dalam buku tanah
2.     Data fisik atau data yuridis belum lengkap dilakukan pembukuan dalam buku  tanah dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap.
3.     Ada sengketa data fisik dan atau data yuridis, tidak diajukan ke Pengadilan tetap dibukukan dalam buku tanah dengan catatan adanya sengketa tersebut, dan kepada yang berkeberatan diberitahukan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.

·         Ketua Panitia Ajudikasi è yang berkeberatan è waktu 60 hari
·         Kepala Kantor Pertanahanè yang berkeberatan è 90 hari

4.     Tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status quo dan tidak ada penyitaan tetap dibukukan didalam buku tanah dengan adanya catatan sengketa.
5.     Ada perintah status quo atau putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan dicatat status quo dan adanya sita dari Pengadilan.


Penghapusan Catatan – catatan yang belum lengakap mengenai data fisik /  data yuridis (2)
a.    Telah diserahkan tambahan alat pembuktian yang diperlukan,atau
b.    Telah lewat waktu 5 (lima) tahun tanpa ada yang mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai data yang dibukukan
  

Penghapusan catatan (3)
a.     Telah diperoleh penyelesain secara damai antara pihak – pihak yang bersengketa atau
b.     Diperoleh putusan pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
c.      Setelah dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik sejak disampaikan pemberitahuan tertulis kepada pihak yang keberatan

Penghapusan catatan (4)
a.     Telah dicapai penyelesaian secara damai antara pihak – pihak yang bersengketa; atau
b.     \diperoleh putusan pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Penyelesain pengisian buku tanah dan penghapusan catatan adanya sita atau perintah status quo (5)
a.      Setelah diperoleh penyelesain secara damai antara pihak – pihak   yang bersengketa; atau
b.     Diperoleh putusan pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pencabutan sita atau status quo


·         ALAT BUKTI HAK LAMA SESUAI PP 24 TAHUN 1997 jo PERMENAG NO.3 TAHUN 1997 :
a.    Grosse akta hak tanah eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau
b.    Grosse akta hak tanah eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 didaerah yang bersangkutan; atau
c.    Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau
d.    Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasakan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau
e.    Surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah denuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau
f.     Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, atau
g.    akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dbuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
h.    akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
i.      akte ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau
j.      risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
k.    surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau
l.      surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau

m.   lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Copyright © 2012 Land Portal All Right Reserved