Selasa, 12 Agustus 2014

Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT)


Terdapat perbedaan ruang lingkup pengertian dari Hukum Agraria antara yang terdapat dalam UUPA dengan yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum Indonesia. Lingkup pengertian Hukum Agraria dalam UUPA jauh lebih luas daripada lingkup pengertian Hukum Agraria yang dipelajari pada pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
Menurut Boedi Harsono, pengertian Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber daya  alam tertentu yang termasuk pengertian ‘agraria’ sebagai yang diuraikan dalam UUPA. Kelompok bidang hukum tersebut meliputi:[1]
a.       Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
b.       Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan  atas air;
c.       Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan;
d.      Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
e.       Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa (bukan “Space Law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA.
Yang perlu ditegaskan bahwa semua bagian dari kelompok hukum agraria itu adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas berbagai sumberdaya agraria, bukan yang mengatur tentang pengelolaan, termasuk penatagunaan atas sumberdaya agraria. Bagi penulis, kelompok hukum yang mengatur pengelolaan berbagai sumberdaya agraria itu tunduk pada pengaturan Hukum Lingkungan.
Meskipun sejak kelahirannya (tanggal 1 Oktober 1962) mata kuliah yang disajikan diberi nama ‘Hukum Agraria’, tetapi materi yang dipelajari dan diajarkan adalah ‘Hukum Tanah’. Hukum Agraria/Tanah bukanlah keseluruhan  (sistem) kaidah hukum mengenai agraria/tanah. Tidak semua hukum yang mengatur tentang agraria/tanah merupakan rezim pengaturan Hukum Agraria/Tanah. Tegasnya, Hukum Agraria/Tanah hanya mengatur segi tertentu dari agrararia/tanah itu sendiri, yakni menyangkut Hak Penguasaan atas Sumberdaya Agraria (HPAA) atau Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Segi-segi lain, seperti bagaimana menggunakan tanah atau bagaimana mewariskan tanah tidak tunduk pada Hukum Agraria/Tanah, melainkan tunduk pada hukum lain, dalam hal ini: (a) cara penggunaan tanah tunduk pada Hukum Tata Guna Tanah sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan/atau Hukum Tata Lingkungan,  serta (b) cara mewariskan tanah tunduk pada Hukum Waris.
Politik hukumnya, hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-citakan hukum yang tertulis, agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin diberi bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas:
a.       hukum tertulis, yang meliputi:
1)   Pasal 33  UUD 1945;
2)   UUPA;
3)   Peraturan-peraturan pelaksanaan;
4)   Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan peraturan peralihan dari UUD 1945.
b.      hukum yang tidak tertulis, yang meliputi:
1)   Hukum Adat yang sudah disaneer;
2)   Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu  mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah. Secara yuridis, “berbuat sesuatu” yang dimaksud tersebut dapat berisi  kewenangan privat, publik atau bahkan dapat sekaligus kewenangan publik dan privat. Tegasnya, pengertian penguasaan yang dimaksud dalam HPAT berisi kewenangan yang luas, tidak sekedar berisi kewenangan hak untuk menggunakan dan atau menjadikan tanah sebagai jaminan yang merupakan kewenangan perdata. Dalam pada itu, HPAT lebih luas daripada Hak Atas Tanah (HAT).
Untuk lebih mengefektifkan studi Hukum Agraria/Tanah, Boedi Harsono yang pertama kali menyatakan bahwa ketika mempelajari Hukum Agraria/Tanah perlu dilakukan dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit. Dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit, ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. Selain itu, dengan sistematika sebagai lembaga hukum dan hubungan konkrit tersebut ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun, dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan. Bagi penulis, pendekatan sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit tersebut dalam studi Hukum Agraria/Tanah itulah yang membuat Bapak Prof. Boedi Harsono layak disebut sebagai ‘Bapak Hukum Agraria Indonesia’. Dengan pendekatan seperti itu, orang-orang dimudahkan untuk melakukan studi Hukum Agraria/Tanah.
a. Sebagai lembaga hukum. HPAT merupakan lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya (Pasal 20-45 UUPA)  Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum:
1)      mengatur nama/penyebutan pada hak penguasaan tersebut;
2)      menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
3)      mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
4)      mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
 b. Sebagai hubungan hukum konkrit. HPAT merupakan hubungan hukum konkrit (biasanya disebut ‘hak’), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Contohnya adalah hak-hak atas tanah yang disebut dalam Ketentuan Konversi UUPA. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkrit mengatur mengenai hal-hal:
1)         penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan di atas;
2)         pembebanannya dengan hak-hak lain;
3)         pemindahannya kepada pihak lain;
4)         hapusnya;
5)         pembuktiannya.


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Land Portal All Right Reserved