Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT)
Terdapat perbedaan ruang lingkup
pengertian dari Hukum Agraria antara yang terdapat dalam UUPA dengan yang
diberikan pada pendidikan tinggi hukum Indonesia. Lingkup pengertian Hukum
Agraria dalam UUPA jauh lebih luas daripada lingkup pengertian Hukum Agraria
yang dipelajari pada pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
Menurut Boedi Harsono, pengertian
Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum,
yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian
‘agraria’ sebagai yang diuraikan dalam UUPA. Kelompok
bidang hukum tersebut meliputi:[1]
a.
Hukum Tanah, yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
b.
Hukum
Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
c.
Hukum
Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan;
d.
Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di
dalam air;
e.
Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang
Angkasa (bukan “Space Law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA.
Yang perlu ditegaskan bahwa semua
bagian dari kelompok hukum agraria itu adalah hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas berbagai sumberdaya agraria, bukan yang mengatur tentang
pengelolaan, termasuk penatagunaan atas sumberdaya agraria. Bagi penulis,
kelompok hukum yang mengatur pengelolaan berbagai sumberdaya agraria itu tunduk
pada pengaturan Hukum Lingkungan.
Meskipun sejak kelahirannya
(tanggal 1 Oktober 1962) mata kuliah yang disajikan diberi nama ‘Hukum
Agraria’, tetapi materi yang dipelajari dan diajarkan adalah ‘Hukum Tanah’. Hukum Agraria/Tanah bukanlah keseluruhan (sistem) kaidah hukum mengenai agraria/tanah.
Tidak semua hukum yang mengatur tentang agraria/tanah merupakan rezim
pengaturan Hukum Agraria/Tanah. Tegasnya, Hukum Agraria/Tanah hanya mengatur
segi tertentu dari agrararia/tanah itu sendiri, yakni menyangkut Hak Penguasaan atas Sumberdaya Agraria
(HPAA) atau Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Segi-segi lain, seperti
bagaimana menggunakan tanah atau bagaimana mewariskan tanah tidak tunduk pada
Hukum Agraria/Tanah, melainkan tunduk pada hukum lain, dalam hal ini: (a) cara
penggunaan tanah tunduk pada Hukum Tata Guna Tanah sebagai bagian dari Hukum
Tata Ruang dan/atau Hukum Tata Lingkungan,
serta (b) cara mewariskan tanah tunduk pada Hukum Waris.
Politik
hukumnya, hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-citakan hukum yang tertulis,
agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk menjamin kepastian hukum maka
Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin diberi bentuk tertulis. Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur semua
hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan lain, ada
juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam Hukum
Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai saat
ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas:
a.
hukum tertulis, yang meliputi:
1)
Pasal 33 UUD 1945;
2)
UUPA;
3)
Peraturan-peraturan pelaksanaan;
4)
Peraturan-peraturan lama sebelum
UUPA yang berlaku berdasarkan peraturan peralihan dari UUD 1945.
b.
hukum yang
tidak tertulis, yang meliputi:
1)
Hukum Adat yang
sudah disaneer;
2)
Hukum
kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Boedi Harsono menyatakan bahwa
dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai Hak Penguasaan
Atas Tanah (HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian
wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang
boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah dalam Hukum Tanah. Secara yuridis, “berbuat sesuatu”
yang dimaksud tersebut dapat berisi
kewenangan privat, publik atau bahkan dapat sekaligus kewenangan publik
dan privat. Tegasnya, pengertian penguasaan
yang dimaksud dalam HPAT berisi kewenangan yang luas, tidak sekedar berisi
kewenangan hak untuk menggunakan dan atau menjadikan tanah sebagai jaminan yang
merupakan kewenangan perdata. Dalam pada itu, HPAT lebih luas daripada Hak Atas
Tanah (HAT).
Untuk
lebih mengefektifkan studi Hukum Agraria/Tanah, Boedi Harsono yang pertama kali
menyatakan bahwa ketika mempelajari Hukum Agraria/Tanah perlu dilakukan dengan pendekatan
pengertian HPAT sebagai lembaga
hukum dan
sebagai hubungan hukum
konkrit.
Dengan pendekatan pengertian HPAT sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum
konkrit, ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dapat disusun dan
dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. Selain itu, dengan
sistematika sebagai lembaga hukum dan hubungan konkrit tersebut
ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja dapat diadakan, disusun, dan
dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan mudah diketahui
ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan. Bagi penulis,
pendekatan sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit tersebut dalam
studi Hukum Agraria/Tanah itulah yang membuat Bapak Prof. Boedi Harsono layak
disebut sebagai ‘Bapak Hukum Agraria Indonesia’. Dengan pendekatan seperti itu,
orang-orang dimudahkan untuk melakukan studi Hukum Agraria/Tanah.
a. Sebagai
lembaga hukum. HPAT merupakan lembaga
hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu
sebagai pemegang haknya (Pasal 20-45 UUPA) Ketentuan-ketentuan
Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum:
1)
mengatur nama/penyebutan pada hak penguasaan tersebut;
2)
menetapkan isinya,
yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh
pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
3)
mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan
syarat-syarat bagi penguasaannya;
4)
mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
b. Sebagai hubungan hukum konkrit. HPAT merupakan hubungan hukum
konkrit (biasanya disebut ‘hak’), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu
sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau
pemegang haknya. Contohnya adalah hak-hak atas tanah yang disebut dalam
Ketentuan Konversi UUPA. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkrit mengatur mengenai hal-hal:
1) penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan
yang dimaksudkan di atas;
2) pembebanannya dengan hak-hak lain;
3) pemindahannya kepada pihak lain;
4) hapusnya;
5) pembuktiannya.
0 komentar:
Posting Komentar