Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah
Pengertian agraria dapat dilihat
dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit agraria dapat diartikan tanah dan
dapat pula diartikan hanya tanah pertanian. Selanjutnya, pengertian agraria
dalam arti luas dapat dilihat pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria,
disingkat UUPA). Menurut UUPA, agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. UUPA menentukan bahwa dalam
pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi, di bawahnya
serta yang berada di bawah air (Pasal 1 butir 4). Pengertian air termasuk
perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 butir 5). Yang
dimaksud dengan ruang angkasa meliputi ruang di atas bumi dan air (Pasal 1
butir 6).
Dalam praktek penyelenggaraan
pembentukan hukum tampak rumusan UUPA tersebut telah berkembang sedemikian rupa
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria. Ada
yang konsisten dan ada pula yang tidak konsisten dengan rumusan UUPA.
Pengertian tanah membawa
implikasi yang luas di bidang pertanahan.
Menurut Herman Soesangobeng, secara filosofis hukum adat melihat tanah
sebagai benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia.
Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jatidiri, namun merupakan suatu
kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam
besar (macro-cosmos) dan alam kecil (micro-cosmos). Dalam pada itu, tanah
dipahami secara luas, sehingga meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan
alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supernatural yang
terjalin secara utuh-menyeluruh.
Pandangan filosofis yang bersifat
utuh-menyeluruh (holistic) ini ketika
akan dijabarkan ke dalam asas dan pranata hukum, tampaknya mengalami dinamika
dan modifikasi. Sebagai contoh, di dalam penguasaan dan pemilikan tanah pada
akhirnya dikenal asas pemisahan horisontal (horizontale
scheiding), yakni asas yang menyatakan bahwa pemilik tanah tidak otomatis
sebagai pemilik benda-benda di atas tanah. Di negara-negara anglosakson yang
mengartikan tanah (land) sebagai
permukaan bumi, tubuh bumi, dan kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi,
maka asas penguasaan pemilikan tanahnya pun mengenal asas perlekatan (accessie) yakni asas yang menyatakan
bahwa pemilikan benda-benda di atas tanah pada prinsipnya juga melekat pada
pemilikan tanah. Contoh lainnya,
Pasal 4 ayat (1) UUPA juga mengartikan tanah yang hanya sebagai permukaan bumi (the surface of the earth).
Konsekuensinya, hak atas tanah pun secara hukum adalah hak atas permukaan bumi,
tidak sekaligus merupakan hak atas
benda-benda di atas tanah dan kekayaan alam di tubuh bumi.
0 komentar:
Posting Komentar